Memutus Rantai Generasi Sandwich : Bersiap Sejak Muda, Berdaya di Masa Tua

Dorothy A. Miller, seorang professor di University of Kentucky, Lexington, Amerika Serikat merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah Sandwich Generation (1981). Istilah ini mengacu pada kondisi yang dialami oleh angkatan orang muda yang terhimpit antara orang tua dan anak. Kondisi ini dianalogikan sebagai sandwich atau roti lapis, di mana orang muda tersebut merupakan daging yang dihimpit oleh roti lapis, yang tidak lain adalah anak dan orang tua mereka. Himpitan yang dimaksud Miller adalah tekanan ekonomi yang membuat para orang muda ini harus memenuhi kebutuhan anak mereka, sekaligus di sisi lain masih harus memenuhi kebutuhan orang tua sendiri yang tidak bisa memenuhi hari tuanya.

Seiring berkembangnya ekonomi, himpitan yang dialami orang muda ini tidak selalu terjadi pada mereka yang telah menikah dan memiliki anak, melainkan juga pada mereka yang belum menikah tapi harus memenuhi kebutuhan orang tua. Terdapat tiga jenis generasi sandwich yang dibedakan berdasarkan kondisinya: Traditional, Club Sandwich, dan Open Faced. Tradisional, tipe pertama adalah yang paling klasik dari tiga jenis ini, di mana para orang muda terhimpit di antara kebutuhan anak dan orang tua mereka. Jenis kedua, Club Sandwich, mereka yang berusia 50-an atau 60-an yang terjepit di antara orang tua yang menua, anak-anak dewasa, dan cucu-cucu. Atau, mereka yang berusia 30-an dan 40-an, dengan anak kecil, orang tua yang sudah lanjut usia, dan kakek-nenek. Terakhir, Open Faced, merupakan siapapun yang terlibat dalam pengasuhan orang tua usia lanjut namun bukan sebagai pekerjaan (panti jompo).

Orang-orang yang terhimpit atau terjebak dalam generasi sandwich biasanya datang dari kelas menengah ke bawah dan tinggal satu atap dengan orang tuanya. Dengan penghasilan yang tidak seberapa, mereka hasus berkontribusi secara finansial terhadap keluarganya. Bagi mereka yang telah menikah, kontribusi ini harus dibarengi dengan kewajiban menghidupi keluarga kecilnya. Karena kontribusi finansial yang tidak sedikit dan terus menerus ini, orang muda yang terjebak dalam generasi sandwich akan kesusahan memiliki rumah sendiri dan menjalankan rumah tangganya tanpa orang tua. Apalagi, menjadi generasi sandwich bukan hanya perihal berkontribusi secara finansial, namun juga kerja-kerja perawatan dan emosional. Seringkali, orang-orang muda ini harus merawat orang tua mereka yang sudah tua atau sakit. Di kondisi yang lebih menguntungkan, orang tua mereka terkadang ikut membantu pengasuhan anak, terutama ketika mereka sedang bekerja.

Himpitan yang dialami para generasi sandwich tak ayal membuat mereka mengalami kelelahan secara fisik maupun mental—dibanding mereka yang terbebas dari beban yang sama. Generasi sandwich seringkali dibebani ekspektasi dari berbagai sisi, ketidakpastian, dan stress. Setiap hari mereka harus menanggung kehidupan tiga generasi (orang tua, mereka sendiri, dan anak mereka) baik secara finansial maupun emosional. Waktunya dihabiskan untuk memastikan tiga generasi ini mendapat kebutuhannya, sehingga seringkali mereka tidak punya waktu untuk diri sendiri. Para generasi sandwich juga selalu diliputi rasa khawatir, jikalau pada suatu saat mereka tidak bisa menghidupi orang tua atau anaknya. Perasaan khawatir dan insecure ini dirasakan dua kali lipat oleh pekerja-pekerja informal, outsourcing, pekerja migran, dan pekerja rentan lainnya yang pekerjaannya bersifat tidak pasti. Selain itu, generasi sandwich juga cenderung diliputi perasaan bersalah atau marah. Perasaan bersalah ini tumbuh ketika mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah. Di sisi lain, para generasi sandwich juga rentan dengan kemarahan dan emosi yang meledak karena terus menerus mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak ada waktu untuk menyampaikan kekecewaan.

Generasi sandiwich merupakan fenomena yang terjadi secara global, tak terkecuali di Indonesia. Walaupun tidak ada data yang pasti tentang generasi sandwich di Indonesia, tapi kita dapat melihat secara general dari data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2017. Dalam data ini ditunjukkan bahwa sumber pembiayaan rumah tangga lansia mayoritas ditopang oleh anggota rumah tangga yang bekerja, yakni sebanyak 77,82%. Sedangkan 14,97% penghasilan rumah tangga lansia berasal dari kiriman uang atau barang. Hanya 6,46% rumah tangga lansia yang penghasilannya berasal dari dana pensiun, dan sedikit dari investasi, sebanyak 0,76%. Sedangkan dari segi tempat tinggal penduduk lansia, 36,73% diantaranya tinggal bersama tiga generasi, seperti misalnya tinggal bersama anak/menantu dan cucu, atau bersama anak/menantu dan orang tua/mertua dalam satu rumah tangga. Sejumlah 26,91% warga lansia tinggal bersama anak atau mantu, atau bersama orang tua atau mertua di satu rumah tangga, sedangkan 18,89% lansia tinggal bersama pasangan. Hanya 9,80% lansia yang tinggal sendirian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas lansia di Indonesia masih bergantung pada anggota keluarganya (anak mereka yang merupakan generasi sandwich).

Dari penjelasan dan data di atas, dapat disimpulkan bahwa isu generasi sandwich merupakan fenomena yang lazim terjadi di Indonesia—namun sayangnya belum cukup banyak dibicarakan. Padahal, isu ini tidak hanya membawa pengaruh dalam lingkup rumah tangga, namun juga ekonomi bangsa secara general. Oleh karenanya, HerStory.co.id ingin mengangkat topik ini dalam webinar berjudul “Memutus Rantai Generasi Sandwich: Bersiap sejak Muda, Berdaya di Masa Tua”. HerStory.co.id percaya komunikasi dan diskusi yang intensif mengenai topik ini akan membawa pada pemahaman yang komprehensif dan pada gilirannya membantu para generasi sandwich atau mereka yang rentan masuk ke kondisi ini untuk berdaya menghentikan siklus yang sama.

The event is finished.

Date

Jun 21 2022
Expired!

Time

2:00 pm - 5:00 pm

More Info

DAFTAR
Category
DAFTAR